BALUT, TEROPONG BANGGAI - Di sebuah ruangan berpendingin udara di jantung Gedung DPRD Kabupaten Banggai Laut, sorot mata para pejabat mengarah ke satu titik, seorang lelaki dalam balutan batik putih bermotif, sosok yang sederhana dan bersahaja, suaranya tegas namun menenangkan. Ia duduk di tengah meja panjang, sesekali memegang mikrofon yang ada di depannya. Dialah Patwan Kuba, SH., MH. Ketua DPRD Banggai Laut yang pagi itu memimpin langsung Rapat Kerja Komisi II, Bapemperda, dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Banggai Laut Tahun 2025–2045. Kamis, 10 April 2025.
Namun rapat ini bukan sekadar pertemuan birokratis. Di balik tumpukan kertas dan proyeksi peta digital, ada percakapan panjang tentang masa depan. Tentang bagaimana Banggai Laut akan tumbuh, kemana kota akan meluas, di mana hutan akan tetap dijaga, dan bagaimana generasi mendatang akan hidup di ruang yang kini sedang digambar ulang.
Dalam sesi awal rapat, Patwan Kuba membuka dengan satu hal yang sering dianggap sepele dalam ranah legislasi, nama. Ia menyoroti nomenklatur judul Raperda, apakah sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan? Apakah istilah-istilah di dalamnya telah selaras dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan peraturan lainnya?
“Nama bukan sekadar label,” ujar Patwan dengan nada meyakinkan. “Ia adalah arah, pijakan, dan batas hukum. Sekali kita keliru dalam penyebutan, maka seluruh batang tubuh peraturan bisa kehilangan kekuatan.”
Ia lalu meminta penjelasan teknis dari OPD terkait, terutama Bappeda, Bagian Hukum, dan Dinas PUPR. Ada diskusi hangat tentang apakah judul Raperda harus mencantumkan secara eksplisit ‘Kabupaten Banggai Laut’, apakah perlu memuat ‘Tahun 2025–2045’ sebagai periode perencanaan, hingga makna perbedaan antara “penataan ruang” dan “tata ruang wilayah”.
Layar proyektor menampilkan peta besar Kabupaten Banggai Laut, dengan pulau-pulau kecil yang tampak seperti mutiara tersebar di samudera.
Dinas PUPR memaparkan rencana pengembangan kawasan perkotaan, integrasi jaringan jalan antar-pulau, hingga pembatasan pembangunan di daerah pesisir rawan abrasi. Sementara Dinas Lingkungan Hidup menekankan pentingnya menjaga keberadaan mangrove dan ekosistem laut yang menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat pesisir.
“Ruang bukan hanya tentang bangunan,” ucap salah satu kepala dinas. “Ia adalah tempat hidup, tempat budaya tumbuh, dan tempat manusia mewariskan nilai-nilai.”
Patwan Kuba menyimak dalam-dalam, sesekali mencatat. Baginya, perencanaan ruang harus memadukan rasionalitas teknis dan suara rakyat. Harus mampu mengakomodasi kebutuhan pertumbuhan ekonomi, tetapi tidak boleh mengorbankan keberlanjutan lingkungan.
Rapat kerja ini bukan pertama kalinya Patwan Kuba terlibat dalam pembahasan strategis semacam ini. Namun baginya, setiap pembahasan RTRW selalu punya nuansa berbeda. Karena di sanalah, DPRD bukan hanya berperan sebagai pembuat regulasi, tapi juga sebagai penjaga arah pembangunan.
Ia menyebut proses ini seperti menyusun simfoni. Ada banyak instrumen, hukum, perencanaan teknis, aspirasi masyarakat, dan dinamika politik lokal. Semua harus menyatu dalam harmoni yang utuh.
“Jika salah satu nada fals, ruang akan jadi bising. Maka kita harus menyatukan irama,” katanya, dalam metafora yang jarang terdengar di ruang-ruang legislatif.
Pembahasan Raperda RTRW ini menjadi pintu masuk menuju Banggai Laut yang lebih tertata dan berkelanjutan. Dengan cakupan waktu 20 tahun ke depan, Raperda ini akan menjadi acuan dalam pemberian izin usaha, pelestarian lingkungan, pengendalian tata bangunan, hingga penataan desa-desa pesisir.
Di akhir rapat, Patwan Kuba menekankan pentingnya partisipasi publik. “Kami bukan merancang ruang dari menara gading. Setelah ini, akan ada konsultasi ke masyarakat, mendengar suara nelayan, petani, perempuan, dan pemuda,” ujarnya.
Dengan ketegasan yang berpadu dengan empati, Patwan menutup rapat. Tapi jelas terlihat, pekerjaan belum selesai. Peta masih akan diperhalus, kata-kata dalam Raperda masih akan dirapikan, dan harapan-harapan masyarakat masih harus terus dirangkum dalam bingkai aturan yang adil.
Dalam goresan peta dan suara ruang, nama Patwan Kuba tercatat bukan hanya sebagai Ketua DPRD, tapi sebagai penjaga arah dan penenun harapan Banggai Laut. (*)
*Penulis: Abdul Azis Naba (Aan)