JAKARTA, TEROPONG BANGGAI - Malam itu, gedung Kejaksaan Agung seolah terjaga lebih terang. Lampu sorot menari di halaman parkir, menyingkap sosok tiga hakim yang selama ini berdiri di ujung meja hijau. Mereka bukan lagi memimpin sidang, melainkan diperiksa sebagai tersangka suap: Djuyamto, Ketua Majelis PN Jakarta Selatan; Agam Syarief Baharudin, anggota majelis; dan Ali Muhtarom, hakim ad hoc.
Sekitar pukul 23.30 WIB, 13 April 2025, langkah kaki Djuyamto menggema di lorong. Jaksa penyidik menjemputnya, setelah serangkaian pemeriksaan saksi dan penggeledahan yang berlangsung sejak Sabtu dini hari. Dari tiga provinsi, Jepara, Sukabumi, dan Jakarta, berlalu kerumunan petugas membawa bukti, uang tunai miliaran rupiah, dua unit Land Rover, satu Land Cruiser, puluhan sepeda motor, hingga deretan sepeda mahal. Semua itu kini terparkir di gudang barang bukti, menanti catatan resmi penyidik.
Semenjak 19 Maret lalu, putusan “ontslag van alle recht vervolging” bagi tiga korporasi besar pemilik fasilitas ekspor CPO, Permata Hijau Group, Wilmar Group, Musim Mas Group, telah terbit. Vonis bebas itu keluar di PN Jakarta Pusat, dipimpin Djuyamto bersama Agam dan Ali. Kala itu, vonis memicu tanya, bagaimana mungkin perusahaan terbukti korupsi, tetapi bebas dari segala tuntutan?
Djuyamto pernah membela diri, menyebut kehadirannya di Kejagung sebagai bentuk “itikad baik” untuk menjelaskan kronologi putusan. Namun malam itu, ia tak bisa menghindar. Petugas mengajaknya masuk ruang pemeriksaan. Di sana, lampu neon memancarkan kesunyian yang menegangkan, suara pulpen menggores catatan, sesekali dentuman pintu terbuka.
Penggeledahan dimulai pada Sabtu, pukul 00.00 WIB. Di rumah Djuyamto di Jepara, petugas menemukan bundelan uang dalam berbagai mata uang. Di kediaman Agam di Sukabumi, tersimpan dokumen dan slip setoran yang menguatkan aliran dana. Sementara di rumah Ali di Jakarta, dua Land Rover dan sebuah Land Cruiser tampak mencolok di halaman, saksi bisu kekayaan mendadak yang sulit dijelaskan dari gaji hakim.
Di luar gedung Kejaksaan, masyarakat menatap berita dengan kecewa. “Hakim adalah harapan terakhir kami,” ujar Ratna, seorang guru honorer. “Tapi jika mereka sendiri menerima suap, apa lagi yang bisa dipercaya?” Bisikan keraguan merambat di warung kopi, di ruang tunggu kantor hukum, bahkan di ruang-ruang sidang yang kosong.
Berdasarkan penyidikan, ketiganya disangka melanggar pasal berlapis. Pasal 12 huruf c juncto Pasal 12 B, Pasal 6 ayat (2), dan Pasal 18 UU Tipikor, serta Pasal 55 KUHP. Total uang suap yang beredar diperkirakan mencapai puluhan miliar rupiah, mengalir dari pengacara dan panitera muda hingga ke tangan para hakim.
Kini, Djuyamto, Agam, dan Ali menjalani penahanan 20 hari di Rutan Salemba Cabang Kejagung. Mereka menatap jeruji dengan penuh pertanyaan, apakah palu yang pernah diketuknya akan membalikkan nasib? Di ruang tahanan, harapan akan keadilan sejati menanti jawaban.
Kasus ini menjadi panggilan bagi semua, aparatur, pengacara, dan masyarakat bahwa peradilan harus bersih dari noda. Pemerhati hukum menegaskan, tanpa transparansi dan akuntabilitas, kepercayaan publik akan terus terkikis. “Ini kesempatan membangun ulang fondasi peradilan,” kata seorang pakar hukum. “Reformasi bukan hanya slogan, tapi tindakan nyata.”
Di balik setiap palu hakim, terpatri janji keadilan. Namun janji itu harus dijaga, tidak oleh harta, tidak oleh kuasa. Ketika suara ombak ketidakadilan mulai teredam, semoga kebenaran akan menegakkan kembali palu yang tulus, untuk menata kembali kepercayaan yang pernah retak. (*)